Muhammad Yunus Anis putra pertama dari sembilan bersaudara pasangan Kiai Haji Muhammad Anis dan Siti Saudah dilahirkan di Kauman Yogyakarta pada tanggal 3 Mei 1903. Ayahnya, Haji Muhammad Anis, adalah seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Berdasarkan surat kekancingan dari Swandana Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1961, disebutkan bahwa Yunus Anis masih ada hubungan kekerabatan dengan Sultan Mataram.
Selain jabatan yang disandangnya itu, KH. Muhammad Anis – ayah Muhammad Yunus Anis - adalah saudagar batik dan seorang ulama yang disegani di Kauman Yogyakarta. Sejak kecil ia dididik agama oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, terutama membaca al-Qur'an dan pendidikan akhlaq. Meskipun KH. Muhammad Anis adalah seorang ulama yang cukup terkemuka, tetapi ia juga menjadi murid dan pengikut setia KH. Ahmad Dahlan, maka semangat keislaman dan kecintaannya berkorban dan beramal yang selalu dianjurkan Kiai dahlan langsung dikerjakan dan dikenalkannya kepada anak dan keluarganya. Sehingga bagi Yunus Anis kecil kebiasaan dalam beramal sesuai tuntunan ajaran Islam ia serap teladan yang dilakukan orang tuanya secara langsung. Ayahnya yang sudah terlibat aktif dalam pengurus Persyariakatan Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912 selalu berusaha membesarkan peran Muhammadiyah di bawah bimbingan dan pimpinan KH. Ahmad Dahlan.
Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad di Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati Al-Anshori seorang ulama pembaru murid Muhammad Abduh. Ia juga guru ahli pendidikan dan hukum Islam yang cukup lama belajar di Mekah, ia sendiri berasal dari Sudan, seorang kawan akrab Kiai Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa dirinya tampil sebagai pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh. Setelah menamatkan pendidikannya, Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai muballigh. Ia banyak terjun ke masyarakat di berbagai daerah di Indonesia untuk mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah. Ia juga banyak mendirikan cabang Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia.
Ia dikenal juga sebagai organisator dan administrator. Tahun 1924-1926 ia menjabat sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah di Batavia. Kepemimpinannya semakin menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Pada tahun 1934-1936 dan 1953-1958 ia dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kepiawaiannya dalam pengetahuan agama menyebabkan banyak orang percaya kepadanya, termasuk tentara. TNI pada tahun 1954 mengangkatnya sebagai Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indonesia (Imam Tentara). Berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai imam tentara, ia banyak memberikan pembinaan mental bagi tentara saat itu.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi yang buruk terhadap ummat Islam, karena ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen saat itu (DPRGR). Dalam kondisi seperti itu, ia diminta oleh beberapa orang, termasuk oleh AH. Nasution, untuk bersedia menjadi anggota DPRGR yang sedang disusun oleh Presiden Soekarno sendiri. Kesediaannya menjadi anggota DPRGR sebenarnya mengundang banyak kritikan dari para tokoh Muhammadiyah saat itu, karena Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi dan bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun kritik itu dijawab bahwa keterlibatannya dalam DPRGR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen saat itu.
Ref :
www.pkesinteraktif.com
http://muhammadiyahstudies.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar